![]() |
| (Sumber foto: Freepik.com) |
Kekerasan
seksual atau rudapaksa menjadi permasalahan kriminalitas yang belakangan ini
mengintai masyarakat di Indonesia maupun seluruh dunia. Tindak kejahatan
semacam ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia. Selain itu, dapat membuat
trauma yang berat pada korban yang mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan seksual adalah tindakan
yang merendahkan, melecehkan dan menyerang terhadap tubuh orang lain yang
berlatarkan nafsu organ seksual yang dilakukan dengan paksa dan membuat korban
tidak mendapatkan persetujuan kebebasan yang berakibat pada fisik, mental,
psikis dan menyebabkan kerugian secara sepihak.
Sampai saat ini perempuan masih
menjadi objek utama dan banyak yang mengalami kekerasan seksual. Kekerasan
seksual biasanya terjadi di lingkungan masyarakat hingga lingkungan pendidikan
serta lingkungan keagamaan yang memanfaatkan situasi tersebut. Pelaku juga
berasal dari berbagai lapisan masyarakat, baik aparatur negara maupun pemuka
agama.
Perkembangan teknologi dan media
sosial ikut berkontribusi terhadap maraknya kekerasan seksual. Kebebasan dalam
berkomunikasi dan bermedia sosial juga memberikan ruang untuk pelaku dalam
melancarkan tindakannya yang tidak etis.
Kasus
kekerasan seksual atau rudapaksa dan pemerkosaan yang terjadi di Indonesia pada
tahun 2021 yang cukup memprihatinkan yaitu kasus guru pesantren yang melakukan
rudapaksa terhadap 12 santrinya hingga hamil dan melahirkan 9 anak.
Aksi
bejat ini dilakukannya sejak tahun 2016 yang hanya untuk mencapai kenikmatan
biologis. Pelaku melakukan aksinya di beberapa hotel dan apartemen. Pelaku
melakukan persuasi dengan mengancam pada korban. Korban-korban tersebut
merupakan santri yang masih anak-anak di bawah umur yang sudah pasti ada
trauma. Para korban sudah melahirkan delapan bayi dan tiga masih dalam
kandungan.
Atas
aksi bejatnya, pelaku dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang
kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, pelaku akan didakwa dengan pasal 81 ayat (1) dan ayat
(3) juncto Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal
15 tahun penjara.
Pelaku
juga melakukan eksploitasi anak yaitu memperkerjakan anak-anak yang menjadi
korbannya diperkerjakan sebagai kuli bangunan untuk membangun pesantren di
Cibiru. Anak-anak yang dilahirkan oleh korban juga diperkerjakan dengan pelaku
untuk meminta dana kepada sejumlah pihak.
Maraknya aksi pelecehan dan
kekerasan seksual menjadi isu penting yang harus diwaspadai. Utamanya para
orang tua yang ingin menitipkan anaknya di pesantren. Alih-alih ingin anaknya
menjadi pribadi yang baik dikemudian hari, malah mendapat tindak kriminalitas
yang tidak mencerminkan sebuah sekolah keagamaan. Pengawasan pada anak yang sedang mondok di pesantren
perlu dilakukan orang tua.
Dengan
begitu, orang tua dapat memantau perkembangan anak. Juga mengecek kondisi mulai
dari kesehatan fisik, mental, dan hal lainnya. Tindakan tersebut sulit dimaafkan
teruntuk para orang tua korban. Terlebih dampak yang didapatkan korban atas
aksi bejat tersebut yaitu, trauma yang berat.
Pentingnya peran orang tua dalam
mendidik anak-anaknya terutama tentang seksualitas atau biologi.
Agar anak-anak
paham dan waspada terhadap tindakan apapun yang mengarah pada pelecehan.

Posting Komentar